Minggu, 03 Oktober 2010
Pertempuran Lima Hari Di Semarang
Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, dan disusul
dengan diproklamarkan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya
tammatlah kekuasaan Jepang di Indonesia.
Dan ditunjuknya Mr Wongsonegero sebagai Penguasa Republik di Jawa Tengah dan
pusat pemerintahannya di Semarang, maka adalah kewajiban Pemerintah di Jawa Tengah
mengambilalih kekuasaan yang selama ini dipegang Jepang, termasuk bidang
pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Maka terbentuklah Badan Keamanan Rakyat
(BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi pula kegiatan perlucutan senjata Jepangtanpa kekerasan antara lain di Banyumas, tapi terjadi kekerasan justru di ibu kotaSemarang. Kido Butai (pusat Ketentaraan Jepang di Jatingaleh) nampak tidak
memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur
Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang
berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa, dan itu pun senjata-senjatayang sudah agak usang.
Kecurigaan BKR dan Pemuda Semarang semakin bertambah, setelah Sekutu mulai
mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Pihak Indonesia khawatir Jepang akan
menyerahkan senjata-senjatanya kepada Sekutu, dan berpendapat kesempatan
memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena
sudah pasti pasukan Belanda yang bergabung dengan Sekutu akan ikut dalam pendaratan
itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.
Pertempuran 5 hari di Semarang ini dimulai menjelang minggu malam tanggal 15
Oktober 1945. Keadaan kota Semarang sangat mencekam apalagi di jalan-jalan dan
kampung-kampung dimana ada pos BKR dan Pemuda tampak dalam keadaan siap.
Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI,
AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan organisasi para pemuda lainnya.
Dapat pula kita tambahkan di sini, bahwa Markas Jepang dibantu oleh pasukan Jepang
sebesar 675 orang, yang mereka dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta, tapi karena
persoalan logistik, pasukan ini singgah di Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan
tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.
Keadaan kontras sekali, karena para pemuda pejuang kita harus menghadapi pasukan
Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya, sementara
kelompok pasukan pemuda belum pernah bertempur, dan hampir-hampir tidak bersenjata.
Juga sebagian besar belum pernah mendapat latihan, kecuali diantaranya dari pasukan
Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat
pendidikan dan latihan militer, tapi tanpa pengalaman tempur.
Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan berontakan 400 tentara Jepang
yang bertugas membangun pabrik senjata di Cepiring dekat Semarang. Pertempuran
antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring (kl 30 Km
sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di bagian atas kota. Di
Jatingaleh ini pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan
Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut.
Suasana kota Semarang menjadi panas. Terdengar bahwa pasukan Kidobutai Jatingaleh
akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia. Situasi
hangat bertambah panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan
masyarakat, bahwa cadangan air minum di Candi (Siranda) telah diracuni. Pihak Jepang
yang disangka telah melakukan peracunan lebih memperuncing keadaan dengan melucuti
8 orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut untuk menghindarkan peracunan
cadangan air minum itu.
Dr Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara) ketika
mendengar berita ini langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek kebenarannya.
Tetapi beliau tidak pernah sampai tujuan, jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran
Semarang, karena dibunuh oleh tentara Jepang (namamya diabadikan menjadi RS di
Semarang). Keesokan harinya 15 Oktober 1945 jam 03.00 pasukan Kidobutai benar-
benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang.
Markas BKR kota Semarang menempati komplek bekas sekolah MULO di Mugas
(belakang bekas Pom Bensin Pandanaran). di belakangnya terdapat sebuah bukit rendah
dari sinilah di waktu fajar Kidobutai melancarkan serangan mendadak terhadap Markas
BKR. Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan
tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar. Diperkirakan pasukan
Jepang yang menyerang berjumlah 400 orang. Setelah memberikan perlawanan selama
setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat
dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang, pasukan BKR
mengundurkan diri meninggalkan markasnya.
Kemudian pasukan Jepang bergerak membebaskan markas Kempeitai yang sedang
dikepung para Pemuda. Setelah mematahkan para Pemuda pasukan Jepang menuju ke
markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki markas tersebut. Di sini
terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anggota Polisi
Istimewa yang tidak berhasil meloloskan diri dari pengepungan.
Juga di depan markas Kempeitai terjadi pertempuran sengit antara pasukan Jepang melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS (Lawang Sewu) dan di Gubernuran (Wisma Perdamaian). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan AMKA melawan secara gigih, sehingga banyak jatuh korban di kedua belah pihak.
Meskipun dalam pertempuran tahap pertama pihak Jepang bagian timur dapat berhasil
menduduki beberapa tempat penting, mereka tidak dapat bertahan karena selalu
mendapat serangan dari BKR dan Pemuda. Terpaksa mereka meninggalkan tempat- tempat tersebut, yang kemudian dikuasai kembali oleh para Pemuda. Demikianlah pasukan silih berganti antara Jepang dan pemuda menempati posisi strategis.
Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah Sakit
Purusara yaitu Dr Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza Sidharta dan
banyak pimpinan-pimpinan lainnya. Untuk menuntut balas, bantuan dari luar kota terus
berdatangan yang menggabungkan diri dengan para Pemuda yang ada dalam kota.
Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung dengan sengitnya. Taktik gerilya-kota dapat dilaksanakan dengan menghindari pertempuran terbuka, dengan tiba-tiba menyerang dan segera menghilang. Sekalipun belum ada komando terpusat, namun datangnnya serangan terhadap Jepang selalu bergantian dan bergelombang. Keberanian mereka benar-benar patut dibanggakan, sehingga menyulitkan Jepang menguasai kota.
Markas Jepang di Jatingaleh pun tak luput dari serangan BKR dan para pemudanya yang
menimbulkan korban yang tidak sedikit kepada pihak Jepang. Gerak maju Jepang
selanjutnya tidak berjalan lancar, karena tertahan di depan kantor PLN, bahkan sempat
dipukul mundur.
Akibat serangan Jepang yang membabi buta, petugas PMI tidak dapat bergerak leluasa, yang menyebabkan korban pertempuran sangat menyedihkan. Mereka yang menderita luka-luka tidak dapat perawatan yang semestinya dan mayat-mayat bergelimpangan di beberapa tempat sampai membusuk, karena tidak segera dikubur.
Petugas lain yang sangat besar jasanya yang bermarkas di Hotel du Pavillion (Dibya Puri)
ialah dapur umum dimana para pemuda memperoleh makanannya, tetapi setelah
pertempuran meluas, selanjutnya para pemuda mendapat bantuan dari rakyat dengan
bergotong royong menyediakan makannya, walaupun mereka sendiri saat itu juga
kekurangan. Tapi solidaritas rakyat dalam hal ini patut dibanggakan dan jangan
dilupakan.
Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran melawan
pemuda-pemuda kita. Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat joang yang
menyala-nyala dari rakyat Semarang. Di tempat yang paling seru pertempuran terjadi di
simpang lima (Tugu Muda). Puluhan Pemuda yang terkepung oleh Jepang dibantai
dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai itu. Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota
sekitar Semarang menunjukkan kesetia-kawanannya. Bala-bantuan mengalir terus ke kota
Semarang. Mereka yang baru datang, langsung terjun terus ke kancah pertempuran.
Setelah BKR berhasil mengadakan konsolidasi dan mendapat bantuan dari daerah lain di
Jawa Tengah, situasi menjadi berbalik pada saat Jepang berada dalam keadaan kritis.
Untuk mengatasi situasi itu serangan makin diperhebat. Banyaknya korban di kalangan
penduduk telah meninggikan para pemuda untuk menuntut balas. Diperkirakan 2000 pasukan rakyat kita gugur dalam pertempuran besar-besaran ini, sedangkan dari pihak
Jepang tak kurang dari 500 orang kedapatan tewas.
Jepang kembali mendekati MR Wongsonegoro yang didesak untuk segera meghentikan
pertempuran. Dari hasil peninjauan dapat diketahui banyak rakyat yang tidak berdosa
tewas dalam pertempuran kedua belah pihak. Oleh karena desakan Jepang untuk
menghentikan pertempuran, diterima oleh Mr Wongsonegoro. Pertimbangan lain adalah
untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang sebenarnya, ialah
tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang segera akan mendarat di Semarang.
Dalam perundingan dengan Jepang, Jepang menghendaki agar senjata-senjata yang
dirampas oleh orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Tapi Mr Wongsonegoro
menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan senjata itu, pun tak
diketahui siapa-siapa yang memegang senjata itu. lagi pula apa si pemegang senjata akanmenyerahkan senjata itu kembali kepada Jepang? Akhirnya Jepang menerima pendirian
Mr Wongsonegoro itu soal penyerahan senjata, dan demikian tercapailah persetujuan
gencatan senjata dengan pihak Jepang.
Pada umumnya para pemuda kecewa atas gencetan senjata itu, karena banyak kawan-
kawan yang telah gugur dan mereka menghendaki menuntut balas.
Setelah Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, maka berakhir
pulalah pertempuran dengan pihak Jepang yang selama 5 hari itu.
Kesimpulan pertempuran lima hari di Semarang itu mempunyai nilai tersendiri,
khususnya bagi rakyat Jawa Tengah. Peristiwa itu menunjukkan kebulatan tekad rakyat
untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Tindakan kekerasan harus diambil, karena
cara berunding dan diplomasi diabaikan oleh Jepang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar